News
Toleransi: Intuisi Dharma atau Sekadar Nilai Oportunistik? Oleh: Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd
Minggu, 22 Juni 2025
Toleransi: Intuisi Dharma atau Sekadar Nilai Oportunistik? Oleh: Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd
Buleleng | Toleransi adalah fondasi utama dalam menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat yang majemuk. Nilai ini bukanlah konsep baru dalam kehidupan beragama, terutama dalam ajaran Hindu. Sejak ribuan tahun lalu, toleransi telah ditanamkan secara mendalam dalam berbagai sumber ajaran suci Hindu, baik itu melalui kitab Veda, epos Mahabharata dan Ramayana, maupun dalam teks hukum moral seperti Manawa Dharmasastra. Namun, di tengah derasnya arus modernitas dan ketegangan sosial saat ini, muncul pertanyaan mendalam: Akankah toleransi menjadi bagian dari intuisi spiritual kita, atau hanya akan menjadi nilai sesaat yang dimanfaatkan sesuai kepentingan, sebagai nilai oportunitas?
Toleransi dalam Perspektif Sloka Suci
1. Rg Veda 1.164.46
"Ekam Sat Viprah Bahudha Vadanti"
Kebenaran itu satu, namun para bijak menyebutnya dengan berbagai nama.
Sloka ini menjadi pengingat bahwa perbedaan keyakinan atau nama Tuhan hanyalah variasi dalam penyebutan kebenaran yang sama. Ajaran ini mengajarkan penghargaan atas keberagaman spiritual sebagai bentuk manifestasi satu sumber ilahi.
2. Bhagavad Gita 5.18
"Vidya-vinaya-sampanne brāhmane gavi hastini śuni caiva śva-pāke ca, panditāh sama-darśinah"
Orang bijaksana melihat semua makhluk dengan pandangan yang sama, tanpa membedakan status, bentuk, atau latar belakang.
Inilah inti dari kesetaraan universal. Toleransi sejati tumbuh dari pandangan yang adil terhadap sesama makhluk tanpa prasangka, diskriminasi, atau superioritas.
3. Manawa Dharmasastra 6.92
"Sarvabhuteshu ca atmanam sarvabhutani ca atmani"
Lihatlah dirimu dalam semua makhluk dan semua makhluk dalam dirimu.
Ajaran ini menumbuhkan rasa persaudaraan dan persatuan dalam keberagaman. Toleransi bukan hanya sikap lahiriah, melainkan pengalaman batin yang melihat kehidupan sebagai satu kesatuan.
Pelajaran Toleransi dari Epos Mahabharata
Dalam Mahabharata, toleransi diajarkan tidak hanya sebagai nilai, tetapi juga sebagai tindakan nyata di tengah konflik dan ketegangan.
Yudhishthira, meskipun diperlakukan tidak adil oleh Duryodhana, tetap menjunjung tinggi dharma. Ia memilih jalan damai, bersikap tenang dan penuh pengertian, tanpa membalas kebencian dengan kebencian.
Krishna dan Shishupala, menggambarkan bahwa toleransi memiliki batas. Krishna bersabar terhadap penghinaan Shishupala, memberi ruang untuk berubah, hingga batas dharma itu sendiri. Ini adalah pelajaran bahwa toleransi bukan berarti pasif, namun aktif dalam kesabaran yang tegas dan terukur.
Toleransi dalam Ramayana: Keteladanan dari Kasih dan Penerimaan
Rama dan Vibhishana, menunjukkan bahwa keberpihakan pada kebenaran melampaui batas kelompok. Rama menerima Vibhishana, saudara musuhnya sendiri, karena ia memilih jalan dharma. Ini menjadi cermin bahwa toleransi juga berarti keberanian menerima mereka yang berbeda arah demi nilai kebenaran.
Hanuman dan Sita, memberikan teladan bagaimana menghormati martabat dan kondisi orang lain. Hanuman tidak hanya menyampaikan pesan Rama, tetapi melakukannya dengan penuh empati, kelembutan, dan penghormatan terhadap situasi Sita di Ashoka Vatika.
Toleransi dalam Kehidupan Modern: Menanamkan Dharma di Era Multikultural
Nilai-nilai yang diajarkan ribuan tahun lalu tetap relevan hari ini, terutama bagi generasi muda Hindu yang hidup di tengah keberagaman budaya dan agama.
Kesetaraan dan Penghormatan
Pengamalan sama-darshinah sangat penting untuk membangun masyarakat yang saling menghargai tanpa melihat latar belakang. Semua umat manusia adalah bagian dari satu keluarga besar: Vasudhaiva Kutumbakam.
Menghindari Konflik dengan Bijaksana
Belajar dari Yudhishthira, generasi muda diajak menyelesaikan konflik secara damai dan berlandaskan kebenaran, bukan dengan ego atau kekuasaan.
Penerimaan terhadap Perbedaan
Kisah Rama dan Vibhishana mengajarkan bahwa menerima perbedaan adalah bukti kedewasaan spiritual dan keberanian untuk menjunjung nilai universal.
Intuisi Dharma atau Sekadar Oportunitas?
Toleransi bukanlah aksesoris sosial yang digunakan hanya ketika menguntungkan. Ketika toleransi dijadikan alat, ia berubah menjadi nilai oportunistik kosong dari jiwa dan tujuan. Namun ketika nilai ini tumbuh dari kesadaran batin, dari intuisi yang selaras dengan dharma, maka toleransi menjadi kekuatan untuk memuliakan kehidupan manusia.
Dalam dunia yang sering diwarnai perbedaan pendapat, identitas, dan kepentingan, toleransi yang bersumber dari hati nurani akan membimbing kita pada kedamaian sejati. Kita tidak hanya belajar untuk menerima, tetapi juga untuk mencintai perbedaan itu sendiri. Itulah toleransi yang lahir dari intuisi suci—bukan karena harus, tetapi karena sadar.
Penutup: Memuliakan Kehidupan dengan Intuisi Dharma
Mari muliakan kehidupan ini dengan langkah kecil menuju toleransi sebagai bagian dari karakter dan intuisi kita. Karena sejatinya, ketika toleransi menjadi refleksi dari nilai dharma, setiap manusia akan mampu hidup berdampingan dalam cinta, damai, dan kebijaksanaan.
Penyusun:
Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd
Pemerhati Pendidikan dan Budaya Hindu
Penulis : Tim Klungkungnews
Polling Dimulai per 1 Maret 2024
Polling Dimulai per 1 Maret 2024