Tokoh

Simakrama di Rumah Pribadi Bendesa Agung Dinilai Tidak Etis, Bendesa Adat Batuyang dan Alit Suardana ; MDA Harus Kembali ke Jalur Leluhur

 Jumat, 25 Juli 2025

Polemik mda Bali


Bali, 

Polemik di tubuh Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali kembali mencuat ke permukaan. Kritik tajam dilontarkan oleh Guru Made Sukarta, Jro Bendesa Adat Batuyang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, menanggapi beredarnya undangan resmi bertajuk Simakrama Prajuru MDA Bali yang dijadwalkan akan digelar pada Minggu, 27 Juli 2025 di Puri Den Bencingah, Desa Akah, Klungkung kediaman pribadi Ketua MDA Bali.


Bagi Jro Bendesa Sukarta, pemilihan lokasi simakrama ini merupakan langkah keliru yang berpotensi memperlebar jarak antara lembaga MDA dan para prajuru adat di seluruh Bali.


“Saya hormati keberadaan para Bendesa Adat. Tapi mengundang semua jajaran MDA dari berbagai tingkatan ke rumah pribadi, dengan dalih apapun, adalah langkah yang tidak etis dan menyalahi spirit kepemimpinan adat Bali yang menjunjung kebersamaan dan kesakralan,” tegas Guru Made Sukarta.


Ia menyebut, Provinsi Bali memiliki banyak gedung milik pemerintah maupun kantor MDA yang representatif untuk mengadakan pertemuan penting. Namun, keputusan Ketua MDA menggelar pertemuan di rumah pribadi justru menimbulkan kesan panik dan tidak elok dalam tata kelola lembaga adat.


“Kalau pemimpinnya panik dan bertindak di luar tatanan, maka bagaimana masyarakat adat bisa merasa terayomi? Ini blunder besar. Seharusnya rapat dilakukan di tempat resmi milik MDA atau pemerintah, bukan di tempat pribadi,” ujar Bendesa Batuyang yang juga dikenal vokal dalam menjaga marwah adat.


Guru Made Sukarta juga menyoroti kehadiran Dinas Pemajuan Masyarakat Adat dalam undangan tersebut. Ia menilai kurang elok jika pejabat pemerintah menghadiri acara yang secara simbolis dan praktis berpotensi mencederai netralitas dan tata kelola kelembagaan adat.


“Kepala dinas diundang dalam pertemuan yang tidak resmi secara kelembagaan? Ini menciptakan preseden buruk. Lembaga adat semestinya punya integritas dan wibawa, bukan dikaburkan dengan agenda personal,” tambahnya.


Senada dengan Guru Made Sukarta, I Ketut Alit Suardana, tokoh adat yang pernah menjabat sebagai Bhaga Hukum dan Wicara Adat MDA Bali (2019–2021) dan Bendesa Madya MDA Karangasem (2021–2023), juga mengkritisi penggunaan istilah “simakrama” dalam agenda resmi MDA. Ia menegaskan bahwa istilah ini tidak dikenal dalam AD/ART MDA Provinsi Bali.


“Dalam AD/ART Pasal 29 sudah jelas jenis pertemuan di tubuh MDA: Paruman Agung, Pesamuan Agung, dan Pesangkepan. Di Pasal 43 bahkan disebutkan empat bentuk Pesangkepan: Rutin, Pleno, Diperluas, dan Insidental. Tidak ada satupun istilah “simakrama” di sana,” ungkap Alit Suardana.


Menurutnya, penggunaan istilah di luar AD/ART dapat membuka ruang multitafsir, sekaligus mengurangi legitimasi pertemuan yang diselenggarakan. Padahal, secara kelembagaan, MDA adalah tulang punggung sistem adat Bali yang berfungsi menjaga kelestarian nilai-nilai luhur warisan leluhur.


Ajakan untuk Duduk Bersama

Dalam suasana yang makin menghangat, Guru Made Sukarta mengajak Ketua MDA dan jajaran untuk membuka ruang dialog bersama para Bendesa Adat. Ia menekankan bahwa kritik yang berkembang bukan bentuk perlawanan, melainkan suara dari akar rumput adat yang merindukan arah yang lurus dan jernih.


“Kalau ada suara-suara sumbang dari masyarakat adat, mestinya dijawab dengan forum terbuka, duduk bersama para Bendesa. Bukan malah membangun tembok dengan pertemuan eksklusif di ruang tertutup,” ujarnya.

Guru Made Sukarta menegaskan, Majelis Desa Adat tidak boleh kehilangan rohnya sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal. Ia berharap lembaga ini kembali menjunjung prinsip transparansi, musyawarah, dan kolektivitas sebagaimana diajarkan para leluhur Bali. (TimNewsyess)


Penulis : Tim Klungkungnews


Siapa Calon Bupati Buleleng 2024 Selanjutnya?

Polling Dimulai per 1 Maret 2024



Siapa Calon Wakil Walikota Denpasar Selanjutnya?

Polling Dimulai per 1 Maret 2024