Tokoh
Nyoman Parta Anggota DPR-RI Soroti Polemik MDA Bali , Tegaskan Soal Pelantikan Bendesa Oleh Ida Betara, dan Krama Bukan MDA
Selasa, 15 Juli 2025
Nyoman parta anggota DPR-RI
Denpasar Polemik mengenai keberadaan dan kewenangan Majelis Desa Adat (MDA) Bali kembali mencuat dan memicu sorotan publik. Isu ini berawal dari pernyataan tegas I Nyoman Parta, Anggota DPR RI Dapil Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, yang menyoroti tumpang tindih persepsi soal peran MDA, status pelantikan (bendesa adat), dan konsekuensi pengelolaan dana desa adat.
Dalam pernyataannya, Parta menegaskan bahwa MDA adalah forum koordinasi dan komunikasi antar bendesa adat, bukan lembaga atasan yang memiliki kewenangan administratif penuh, apalagi sampai melantik bendesa adat.
"MDA itu tempat koordinasi. Kepala desa adat atau bendesa tidak perlu dilantik secara administratif oleh MDA. Karena kalau dilantik secara resmi oleh bupati, maka konsekuensinya bupati harus menanggung gaji, tunjangan, dan pembiayaan lain," tegas Parta.
Dilantik oleh Adat, Bukan Secara Administratif
Parta menjelaskan bahwa secara hukum adat, pelantikan bendesa adat dilakukan melalui upacara adat oleh Ida Betara, sesuai tradisi Kahyangan Tiga, bukan melalui mekanisme pelantikan administratif yang diatur pemerintah kabupaten.
"Pelantikan bendesa adat itu suci, sakral. Dilantik oleh Ida Betara melalui jeroan di pura, bukan di Balai Banjar atau Balai Wantilan oleh MDA. Itu sudah ada sejak Perda Nomor 3 Tahun 2001, diperkuat dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019, dan masih berlaku sampai sekarang," jelasnya.
Dana BKK untuk Desa Adat Tidak Terkait SK Pelantikan
Dalam konteks pembiayaan, Parta juga menyinggung polemik dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) untuk desa adat yang sempat terhambat gara-gara kebingungan soal status Surat Keputusan (SK) pelantikan.
"Sejak 2019, desa adat terus dapat BKK. dana BKK jalan. Tapi kalau diputar-putar pakai SK pelantikan MDA, jadinya macet sendiri. Padahal bendesa sah karena dilantik oleh Ida Betara, bukan SK administratif," papar politisi senior PDI Perjuangan ini.
Menurut Parta, polemik ini justru membuat bendesa sebagai pemimpin adat terjebak pada urusan administrasi yang seharusnya tidak memakan waktu dan energi.
"Bendesa itu harusnya fokus ngurus krama, upacara, dan desa adat. Kalau sibuk urus SK dan pelantikan administratif, siapa yang jaga wewidangan (wilayah adat)? Ini jadi kebalik," kritiknya.
Kembali ke Esensi Desa Adat
Lebih jauh, Parta mengingatkan, dalam adat Bali, pergantian bendesa adat lazimnya dilakukan setiap 3–6 tahun, biasanya bertepatan dengan hari raya Kuningan.
"Dulu, kalau masa jabatan habis, ya diganti pas Kuningan. Dilantik di Pura, disaksikan kerama adat. Selesai. Sekarang malah ribet mau lantik di Wantilan, di Balai Banjar. Itu sudah di luar tradisi," imbuhnya.
Baginya, MDA tetap penting sebagai payung komunikasi dan koordinasi, tapi jangan melampaui peran dengan menabrak tatanan sakral pelantikan bendesa adat.
"Silakan MDA mendampingi, memfasilitasi musyawarah. Tapi pelantikan bendesa adat itu wilayah spiritual, bukan administratif. Ini yang harus lurus," pungkasnya.
Sorotan Publik Terus Bergulir
Polemik ini belakangan semakin ramai di masyarakat, apalagi di tengah transparansi dana desa adat, polemik SK pelantikan, dan hubungan antara bendesa adat, desa pakraman, dan pemerintah daerah.
Banyak pihak berharap MDA, desa adat, dan pemerintah provinsi segera duduk bersama untuk merumuskan kembali tata kelola desa adat agar tradisi, administrasi, dan hukum positif berjalan beriringan tanpa saling bertabrakan.
(Tim Newsyess)
Penulis : Tim Klungkungnews
Polling Dimulai per 1 Maret 2024
Polling Dimulai per 1 Maret 2024