Tokoh
Guru Made Sukarta, Bendesa Adat Batuyang Soroti Polemik MDA: "Hargai Otonomi Desa Adat, Pahami Perda dengan Utuh"
Kamis, 17 Juli 2025
Bendesa adat Batuyang
Gianyar 17/7/2025
Polemik seputar kiprah Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali kembali mencuat. Kali ini, Bendesa Adat Batuyang, Guru Made Sukarta, angkat bicara lantang menanggapi pernyataan dan sikap Bendesa Agung MDA yang dinilai telah melampaui batas kewenangan yang semestinya.
Menurut Guru Made Sukarta, beberapa langkah dan tindakan yang diambil oleh MDA belakangan ini mencerminkan ketidaktahuan akan substansi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
“Seorang Bendesa Agung itu harus paham isi perda. Di ketentuan umum ayat 889 jelas tertulis bahwa Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum tradisional yang diakui dan dilindungi negara. Desa Adat berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Ini otonomi yang harus dihormati,” tegasnya, Rabu (16/7/2025).
Ia menyayangkan justru Ketua MDA yang dinilainya keliru dalam menafsirkan perda. Guru Made bahkan mempertanyakan legitimasi sosial dari posisi Bendesa Agung MDA.
“Bagaimana bisa menjadi Bendesa Agung kalau tidak jelas siapa krama-nya? Bendesa itu pemimpin di tingkat desa, yang memiliki ikatan langsung dengan krama adat. Kalau krama-nya saja tidak jelas, lalu siapa yang dipimpin?” katanya dengan nada kritis.
Ia juga mengungkapkan akan segera melayangkan surat resmi ke DPRD Provinsi Bali, bersama sejumlah Bendesa Adat lainnya di Kabupaten Badung. Tujuannya, meminta agar Perda No. 4 Tahun 2019 segera direvisi atau disempurnakan, khususnya pada bagian yang menjelaskan tugas dan wewenang MDA.
“Perda itu sebenarnya sudah bagus. Gagasan dari Pak Nyoman Parta pada 2019 patut diapresiasi. Tapi pelaksanaan teknis di lapangan yang jadi masalah. MDA ini seharusnya lembaga koordinasi, bukan lembaga yang mendikte kami para Bendesa.”
Menurutnya, semenjak munculnya posisi Bendesa Agung dalam struktur MDA, justru keributan dan polemik semakin sering muncul di berbagai daerah. Hal ini menurutnya disebabkan karena sikap yang cenderung otoriter dan tidak menghormati otonomi desa adat.
Ia mencontohkan beberapa bentuk intervensi yang dianggap menyimpang dari tugas koordinatif MDA, seperti pemanggilan pecalang yang mengakibatkan biaya tambahan dari kas desa adat.
“Tugas pecalang itu menurut awig-awig adalah mengamankan wewidangan-nya masing-masing. Bukan dikumpulkan hanya demi menunjukkan seolah-olah Bendesa Agung punya massa,” ucapnya tajam.
Lebih lanjut, Guru Made juga mengkritik upaya penyeragaman bentuk pararem (aturan adat lokal) yang dianggap menyalahi prinsip dasar demokrasi desa adat.
“Sebelum ada MDA, kalau sudah diputuskan oleh krama, itulah “pararem”. Apapun bentuknya, selama disepakati, itu yang dijalankan. Tidak perlu diseragamkan.”
Ia mengajak agar MDA, khususnya Bendesa Agung, membuka ruang dialog dan introspeksi. Sebuah forum terbuka yang melibatkan seluruh Bendesa se-Bali, termasuk pencetus Perda No. 4 Tahun 2019, menurutnya akan sangat bermanfaat untuk menyamakan persepsi demi menjaga marwah Desa Adat sebagai pilar utama budaya Bali.
“Kalau MDA memang menghormati otonomi Desa Adat, dengarkanlah suara kami praktisi adat di lapangan. Jangan alergi terhadap kritik. Ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk perbaikan bersama.”
Sebagai penutup, Guru Made Sukarta berharap agar DPRD Provinsi Bali segera mengambil langkah konkret dengan meninjau ulang implementasi perda tersebut, agar tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan yang membingungkan dan menimbulkan gesekan.
“Kita semua ingin menjaga warisan leluhur. Jangan sampai karena salah tafsir dan ego jabatan, kita justru mengoyak tatanan yang sudah ratusan tahun kita junjung tinggi,” pungkasnya. (TimNewsyess)
Penulis : Tim Klungkungnews
Polling Dimulai per 1 Maret 2024
Polling Dimulai per 1 Maret 2024